Selama pandemi, pemerintahan Presiden Joko Widodo dinilai berhasil merilis sejumlah kebijakan fiskal yang tepat sasaran.
Hal tersebut diungkapkan oleh ekonom senior Indef, sekaligus komisaris Allo Bank Aviliani dalam Diskusi Pakar 2022 'Peran APBN dalam rangka Pemulihan Ekonomi dan Antisipasi Resesi'
Aviliani menuturkan bahwa sepanjang tahun 2020-2022, ketika pandemi melanda, ada tiga kebijakan fiskal pemerintah yang cukup baik.
Pertama adalah relaksasi defisit fiskal ke atas 5%. Bahkan, menurutnya, pemerintah mengelontorkan dana PEN. Kedua, fungsi Bank Indonesia (BI) yang diperbolehkan membeli SBN di pasar primer.
"Ini bagus karena suku bunga tidak melonjak jauh," ujar Aviliani.
Jika BI tidak bisa membeli SBN di pasar primer, maka yield SBN akan naik tinggi ketika pasar mengalami gejolak.
"Akibatnya pemerintah akan mengeluarkan biaya yang sangat besar," kata Aviliani lagi.
Ketiga adalah restrukturisasi. Menurut Aviliani, program ini sangat membantu perbankan. Ada sekitar Rp 1.000 triliun kredit yang direstrukturisasi. Sekarang nilai sudah berkurang hingga Rp 500 triliun.
Artinya apa, dalam dua tahun terakhir sudah terjadi perbaikan karena orang sudah bisa mengangsur kembali kreditnya. Saat ini, bahkan, ada kebijakan untuk memperpanjang program restrukturisasi.
"Jadi artinya apa? jika kondisi belum normal boleh saja pemerintah mengajukan kembali, untuk kebijakan-kebijakan yang membutuhkan hal-hal baru, seperti restrukturisasi," ungkapnya.
Dia berharap kebijakan agar BI diperbolehkan membeli SBN di pasar primer bisa dilanjutkan. Pasalnya, kenaikan suku bunga pada akhirnya akan menaikkan yield SBN.
Kondisi ini akan menjadi beban bagi pemerintah. "Pemerintah jualan obligasi lebih mahal. Jadi memang perlu dievaluasi tidak harus semua kebijakan ini selesai," pungkasnya.
0 comments:
Post a Comment